Selamat Datang Assalamu'alaikum Semoga Anda Selalu Sehat dan Ceria Hari ini Berdoalah Sebelum dan Sesudah Anda Beraktivitas

Selasa, 25 November 2008

FENOMENA DI SAMUDRA HINDIA BERPOTENSI BESAR MEMPENGARUHI INDUSTRI PERTANIAN PADA SEBAGIAN WILAYAH BARAT INDONESIA



Laut merupakan komponen penting yang berpengaruh terhadap perubahan iklim di dunia. Salah satu pengaruh lautan yang cukup dominan adalah dalam proses terjadinya hujan yaitu sebagai penyedia uap air terbesar sehingga terjadi pola hujan dan membentuk iklim tertentu pada daratan di dekatnya. Iklim akan menghasilkan budaya pada manusia yang dipengaruhinya, seperti budaya pranata mangsa untuk petani padi di pulau Jawa sejak zaman kerajaan Mataram. Namun ketika terjadi penyimpangan terhadap pola tersebut dapat menimbulkan kerugian seperti munculnya gejala El Nino yang disebut-sebut sebagai biang keladi ekspor asap ke negara tetangga akibat kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan pada pertengahan Agustus-September 2006 yang lalu. El Nino merupakan salah satu bentuk penyimpangan cuaca yang menimbulkan kekeringan di sebagian besar Asia dan paling ditakuti oleh para pelaku industri pertanian. Gejala ini merupakan hasil interaksi lautan Pasifik sekitar equator dan atmosfir di atasnya yang muncul pada akhir tahun (Desember-Januari). Ternyata, selain El Nino, Indonesia juga mendapat ancaman kekeringan dan curah hujan tinggi karena penyimpangan suhu muka laut di lautan Hindia. Fenomena ini disebut sebagai Indian Ocean Dipole Mode (IOD) yang pertama kali ditemukan oleh Toshio Yamagata tahun 1999.



Pendahuluan.

Kekeringan yang melanda Indonesia selalu dihubungkan dengan gejala El Nino. Namun berdasarkan penelitian Jamstec (Japan Agency for Marine Earth Science and Tecnology) yang dimotori Prof. Yamagata terlihat ada fenomena kelautan lain yang dampaknya sama yaitu Indian Ocean Dipole Mode (IOD) Positif di lautan Hindia. Sedangkan IOD Negatif serupa dengan gejala La Nina di lautan Pasifik equator.

Tahun 1997-1998 Indonesia mengalami kekeringan yang dahsyat karena kemarau sangat panjang dari bulan Juni hingga Februari tahun berikutnya yang mengakibatkan beberapa luasan tanaman perkebunan di beberapa provinsi di Sumatera mati, sedangkan seharusnya El Nino sudah melemah berdasarkan pengamatan. Hal tersebut menyadarkan ada pengaruh lain dan perlunya penelitian lebih lanjut, terlihat bahwa ada pennurunan suhu muka laut di Samudra Indonesia setelah El Nino meluruh. Lalu terbukti gejala El Nino diikuti oleh gejala lain yang selanjutnya dikenal sebagai IOD Positif.


Bagaimana IOD Positif terjadi.

Berdasarkan penelitian, biasanya IOD dimulai pada bulan Mei atau Juni, mencapai puncak pada Oktober dan berakhir sekitar November dan Desember Periode IOD Positif berulang setiap 4-5 tahun sekali sedangkan El Nino setiap 3-7 tahun (Erma, 2008). Akibatnya, jika pada kondisi normal Indonesia masuk hujan sekitar Oktober dengan angin baratan bertiup yang mengandung banyak uap air, akan mengalami perpanjangan musim kemarau dengan arah angin berbalik pula dari arah timur yang kering.

IOD adalah penggabungan model iklim atmosfer dan lautan yang berpusat di wilayah tropik lautan Hindia, keadaan IOD berpengaruh kepada konveksi udara di Indonesia dan juga endapan regionalnya. Pada saat IOD Positif, ditandai dengan pendimginan permukaan air laut barat daya Sumatera sampai selatan Jawa yang cukup drastis dan sebaliknya pemanasan di pantai Timur Afrika (Sea Surface Temperature Anomaly atau SSTA), menimbulkan tekanan tinggi di Sumatera sampai Jawa yang mengakibatkan terjadi aliran massa udara ke wilayah barat (Afrika) dengan tekanan yang lebih rendah sehingga massa udara menumpuk dan memicu cuaca buruk.

Di dalam laut gejala ini mendorong gelombang Kelvin sepanjang equator bergerak ke Timur berlawanan arah angin yang menuju ke barat, pada akhirnya mengangkat thermocline (lapisan air yang menjadi batas massa air laut panas dan dingin di bawahnya) di barat daya Sumatera dan Selatan Jawa, lapisan air di bawah naik ke permukaan, air di permukaan terdorong ke barat, suhu air laut di permukaan menjadi lebih dingin atau sampai turun drastis. Dinginnya suhu muka laut mengurangi penguapan dan pertumbuhan awan berkurang, dapat dikatakan zona konveksi (daerah pembentukan awan-awan berpotensi hujan) bergeser ke arah barat (Afrika) sehingga kondisi cerah atau sedikit awan di Sumatera dan Jawa, kebalikannya di wilayah Afrika.


Prediksi dan Penelitian IOD.

Kapan IOD muncul memang sulit diprediksi. Namun upaya para ilmuan untuk mempertepat prakiraan gejala ini telah banyak mendatangkan hasil. Dimulai dengan dua orang ilmuan Jepang Prof. T. Yamagata dan Dr. NH. Saji yang menganalisa data SST lautan Hindia tahun 1958-1998 dikaitkan dengan banjir di Afrika Timur tahun 1961 dan kekeringan di Indonesia 1994 dan 1997 (Ishaq, 2008).

Serupa dengan El Nino sesuai dengan namanya yang berarti dua kutub di lautan Hindia, IOD dipresentasiikan oleh perbedaan suhu permukaan laut (SST) lautan Hindia bagian barat di pantai timur Afrika (wilayah 50º-70º BT dan 10ºLU-10ºLS) dengan lautan Hindia bagian timur di perairan barat daya Sumatera dan selatan Jawa (90º-110º BT dan 0º-10º LS) yang dijadikan sebagai dipole mode index (DMI), juga diteliti dengan perbedaan tekanan udara antara Capetown (Afrika) dan Padang (Indonesia) akibat interaksinya (MSJ and Yamagata, 2003).

Demikian beberapa komentar ahli:
“Tercatat banjir di Kenya dan kekeringan hebat di Australia pada tahun 2006 dan 2007 yang diyakini sebagai ulah IOD Positif, hal ini mulai terlihat kembali sekitar Mei lalu, ditandai dengan pendingian suhu muka laut di samudera Hindia timur sepanjang perairan Sumatera dan Jawa,” (Masumoto, 2008). Contoh lain: “Suhu di timur dekat Sumatera turun sekitar 0,5ºC, sedangkan di bagian barat dekat Afrika naik sampai 0,5ºC. Diprakirakan sampai September atau Oktober bahkan November, selisih ini akan mencapai satu derajat atau lebih, jika itu terjadi maka terbentuk DM Positif, lanjut Mezak, proses kekeringan di Indonesia dimulai sejak akhir Mei hingga awal Juni dan puncaknya bulan Agustus-September”, (Kompas, 2008).

Penelitian lanjutan IOD dilakukan dengan riset kelautan, penambahan pelampung pemantau iklim dari 12 menjadi 40 bouy kerjasama antara BPPT dan Jepang (Yuni, 2008), juga beberapa penelitian lainnya selayaknya untuk mendukung BMG.

Walaupun prediksi sifatnya global dan masih dalam perdebatan ilmiah para ahli, industri pertanian kita harus dapat lebih berhati-hati, karena selain El Nino masih ada potensi ancaman yang cukup besar, seperti yang terjadi tahun 1997-1998, El Nino dan IOD Positif berurutan terjadi, menyebabkan kekeringan hampir sepanjang tahun.


Dampak IOD Positif

Di Indonesia tahun 1994 terekam IOD Positif bersamaan dengan El Nino menyebabkan kemarau yang sangat kering sehingga banyak sumber air kering, lalu 1997-1998, setelah El Nino, IOD Positif muncul, akibatnya kemarau tambah panjang mematikan tanaman kelapa sawit dan tanaman perkebunan lainnya di Sumatera, juga ditambah kebakaran hutan penyebab ekspor asap.. Petani padi sepanjang tahun tidak bisa tanam padi sawah dan mengakibatkan paceklik.

Terjadi ledakan Algae akibat phytoplankton dari laut dalam naik ke permukaan laut di sepanjang pantai barat Sumatera dan selatan Jawa sehingga oksigen banyak diserap ke permukaan dan menyebabkan ikan besar menjauh dan terumbu karang banyak yang mati, seperti ditemuinya fosil terumbu karang di kepulauan mentawai bersamaan kejadian IOD (Nerille, 1994 dan 1997).

Bertolak belakang dengan di pantai timur Afrika dan daratan India yang mengalami musim hujan berlebih di atas rata-rata yang mengakibatkan banjir dan munculnya wabah penyakit.

Oleh karena itu akan lebih baik jika kita mengamati gejala di kedua samudera ini sehingga dampak buruknya dapat diminimalisasi.


Kesimpulan

1. Selain El Nino dan La Nina, ada fenomena kelautan lain yang disebut sebagai IOD Positif dan Negatif.
2. Walaupun masih dalam diskusi namun diyakini berpotensi besar mempengaruhi penyimpangan iklim wilayah barat Indonesia.
3. IOD dan El Nino merupakan fenomena yang terpisah atau tidak berkaitan.

Oleh: Imbuh Yuwono
Ternyata, selain El Nino, Indonesia juga mendapat ancaman kekeringan dan curah hujan tinggi karena penyimpangan suhu muka laut di lautan Hindia. Fenomena ini disebut sebagai Indian Ocean Dipole Mode (IOD) yang pertama kali ditemukan oleh Toshio Yamagata tahun 1999.

0 komentar:

Original Design by : x-template.blogspot.com.

Modified by : Imbuh Yuwono Email: Imbuh_y@yahoo.co.id